Sejarah

Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Palembang

Dasar hukum pembentukan Pengadilan Agama Palembang adalah Penetapan Menteri Agama No.15 Tahun 1952.

1.            Dari Zaman Kesultanan Palembang

Palembang, yang menurut ungkapan De Roo De La Faille sebagai suatu kota khas Melayu kuno, yang terletak di tepi Sungai Musi Muara Sungsang, tempat dimana Ogan dan Komering bermuara di dekat Pulau Kembara, menjadi sebuah kesultanan ditahun 1675 yaitu dimasa pemerintahan Ki Mas Hindi (1662-1706) yang bergelar Pangeran Ratu.

Walaupun dalam banyak catatan sejarah dinyatakan Islam masuk ke Palembang dari Demak dimulai dari tahun 1440, namun sejak timbulnya kesultanan Palembang itulah agama ini dapat tersebar secara merata ke seluruh pedalamannya.

Pangeran Ratu sendiri ditahun 1681 memaklumkan gelar sebagai Sultan Jamaluddin, dipahami sebagai suatu usaha untuk menampakkan identitas agamanya. Bahkan ditahun 1690, beliau disebut-sebut juga sebagai Sultan Ratu Abdurrahman, walaupun dalam beberapa kisah anak negeri lebih dikenal sebagai Sunan Cinde Balang, suatu ungkapan lain dari kata Candi Walang.

Menurut sebuah tulisan Melayu ditahun 1822 yang dikutip oleh De Roo De La Faille, anggota Raad Van Indie (Dewan Hindia Belanda) yang banyak membuat telaah ilmiah tentang permasalahan adat asli dengan kebijaksanaan pemerintahan Hindia Belanda, dalam tradisi kesultanan Palembang ada dikenal tentang empat “Mancanegara”, yaitu para pembesar negara yang mendampingi Sultan, seperti halnya “Catur Menggala” dalam tradisi Jawa.

Pembesar pertama ialah Pepatih, bergelar Pangeran Natadiraja yang memegang seluruh urusan kerajaan, baik di ibukota maupun di daerah Hulu Sungai. Pembesar kedua ialah Pangeran Nata Agama, kepala alim ulama yang mengadili hal-hal sesuai dengan hukum Agama. Pembesar ketiga, Kyahi Tumenggung Karta, bawahan Pepatih yang melaksanakan tugas-tugas pengadilan menurut hukum adat di dalam negeri Palembang serta jajahannya. Putusan Tumenggung harus diperkuat oleh Sultan sebelum dilaksanakan. Adapun pembesar keempat, juga merupakan bawahan Pepatih, ialah Pangeran Citra, kepala dari yang disebut “Pangalasan”, yaitu hulubalang-hulubalang Sultan yang bersenjata lengkap.

Melihat susunan aparat di atas, kekuasaan untuk mengadili pada zaman kesultanan Palembang secara garis besar dapat dibagi dua : Pertama, dari Pangeran Nata Agama yang berwenang dalam urusan-urusan keagamaan seperti perkawinan, kelahiran dan kematian, kewarisan, perwalian, kelalaian atau pelanggaran terhadap hukum-hukum agama. Dan kedua, dari Kyahi Tumenggung dalam memutuskan perkara-perkara pidana. Pembagian ini diakui oleh Van Sevenhoven yang pernah menjabat Komisaris Raad Van Indie, dan selalu dijadikan bahan perbandingan oleh De Roo De La Faille dengan keadaan Surambi di Solo dan pemisahan hukum Dirgama dengan hukum Agama di Cirebon.

Dari sini, terlepas dari kecenderungan banyak para ahli Belanda yang ingin memisahkan hukum adat dengan Islam, dapat ditarik kesimpulan berdasarkan wewenang mengadili dari Pangeran Nata Agama, maka lembaga seperti Peradilan Agama di Palembang sudah ada sejak abad ke-17; yaitu sejak terbentuknya kesultanan Palembang itu sendiri.

1.            Masa Sesudah Hapusnya Kesultanan Palembang

Masa surutnya kesultanan Palembang boleh dikatakan dimulai ketika ditahun 1790 Belanda mengadakan perundingan dengan Sultan Mohammad Badaruddin untuk memaksa agar Sultan memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kontrak dan melunasi hutang-hutang yang diberikan oleh Pemerintah Batavia ditahun 1731 dan 1742 kepada neneknya Sultan Badaruddin Lemah Abang.

Ketika Sultan menolak untuk dipaksa dan bahkan menerima tawaran bantuan senjata dari Raffles untuk mengsir Belanda, pemerintah Batavia mendapat alasan yang kuat untuk menyerang dan menguasai Palembang sepenuhnya, dan dengan demikian berakhirlah sejarah kesultanan Palembang.

Walaupun demikian, lembaga Peradilan Agama yang menjadi wewenang dari Pangeran Nata Agama tetap berjalan. Tentu saja bukan sebagai aparat pemerintahan seperti di zaman Sultan, melainkan sebagai pejabat tradisional yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Penghulu, dengan wewenang yang lebih sempit meliputi urusan perkawinan, waris, hibah, waqaf umum, penentuan awal puasa dan hari raya. Masih berjalannya fungsi Pangeran Nata Agama ini terbukti dari produk hokum tertua yang berhasil diketemukan berbentuk Penetapan Hibah ditahun 1878.

1.            Ditengah suasana revolusi kemerdekaan

Dalam suasana gejolak revolusi kemerdekaan, Mahkamah Syariah di Palembang dibentuk pada tanggal 1 Agustus 1946 yang diketuai oleh Ki H. Abubakar Bastary. Pembentukan Mahkamah ini diakui sah oleh wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar dengan kawatnya tertanggal 13 Januari 1947.

Tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena pecahnya clash II dan Palembang jatuh kembali ke tangan pihak Belanda. Dengan sendirinya Mahkamah Syar`iyah yang baru lahir itu bubar karena Pemerintah Militer Belanda lebih setuju bidang Peradilan Agama diletakkan di bawah kekuasaan Pengadilan Adat. Hal ini terbukti dari usaha mereka selain merestui berdirinya suatu Pengadilan Agama Islam yang lain dari Mahkamah Syar`iyah yang sudah ada, mereka juga membentuk pengadilan banding yang disebut “Rapat Tinggi” yang baru di Palembang.

Sesudah penyerahan kedaulatan, atas instruksi Gubernur Sumatera Mr. Tengku Mohammad Hasan dibentuk Pengadilan Agama Propinsi di Palembang pada tahun 1950 dengan ketuanya Ki H. Abubakar Bastary. Pengadilan ini walaupun menyandang predikat propinsi, bukanlah pengadilan tingkat banding. Terbukti dengan persetujuan Residen Palembang tanggal 25 September 1950 Nomor: A/14/9648 ; Pengadilan ini mengadakan sidang keliling ke daerah Ogan Komering Ilir (OKI) sebanyak dua kali, ke daerah-daerah Ogan Komering Ulu (OKU) dan Lubuk Linggau masing-masing satu kali. Menurut catatan Ki H. Abubakar Bastary, selama berdirinya pengadilan ini berhasil menyelesaikan sebanyak 228 perkara.

Seperti halnya Mahkamah Syar`iyah Palembang, Pengadilan Agama Propinsi inipun tidaklah berumur panjang. Pada bulan November 1951, atas perintah Kementrian Agama melalui Biro Peradilan Agama Pusat, Pengadilan ini dibekukan. Sebagai gantinya, Kementrian Agama mengaktifkan kembali secara resmi Pengadilan Agama Palembang sebagai lanjutan dari Raad Agama Palembang dengan Penetapan Menteri Agama No.15 tahun 1952 dan menunjuk kembali Kiagus Haji Nangtoyib sebagai ketuanya.

Inilah Pengadilan Agama pertama di Sumatera yang diaktifir kembali secara resmi, sementara di tempat-tempat lain masih diperlukan pembicaraan-pembicaraan dengan pihak Kementrian Kehakiman.

Pada tahun 1955 Kiagus Haji Nangtoyib mulai menjalani masa pensiun dan digantikan oleh Ki H. Abubakar Bastary

1.            Perkembangan sesudah PP No.45 tahun 1957

Sebagai realisasi dari PP No.45 tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah di luar Jawa dan Madura, pada tanggal 13 November 1957 Menteri Agama mengeluarkan Penetapan Nomor 58 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah di Sumatera. Dengan demikian di Palembang dibentuk sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah yang mempunyai daerah hukum meliputi Kotamadya Palembang, dan sebuah Pengadilan Agama Syar`iyah Propinsi yang juga berkedudukan di Palembang sebagai Pengadilan tingkat banding dengan wilayah hukum meliputi propinsi Sumatera Selatan, yang pada saat itu masih mencakup Lampung dan Bengkulu.

Ketika hampir seluruh kabupaten di Sumatera Selatan dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah, kecuali Kabupaten Musi Banyu Asin, maka daerah ini dimasukkan ke dalam wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Palembang.

Ki H. Abubakar Bastary yang semula menjabat ketua Pengadilan Agama Palembang menggantikan Kiagus Haji Nangtoyib diangkat menjadi Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah Propinsi, sedang sebagai ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah Palembang ditunjuk Kemas Haji Muhammad Yunus.

Pada masa-masa sebelum tahun 1965 Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Palembang menempati gedung di Jalan Diponegoro No.13 Kelurahan 26 Ilir Palembang. Pada tahun 1965 pindah menumpang pada lokal Madrasah Qur`aniyah 15 Ilir Palembang. Setelah kurang lebih setahun kemudian, yaitu pada tahun 1966, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah Palembang mendapat gedung baru pinjaman dari Walikota Madya Palembang di Jalan Segaran 15 Ilir Palembang bersama-sama dengan Kantor Camat Kepala Wilayah Kecamatan Ilir Timur I dan Kodim 0418 Palembang.

Tahun 1971 Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah Palembang Kemas Haji Muhammad Yunus mulai menjalani masa pension. Sebagai pengganti diangkat Drs. Saubari Cholik yang pada saat itu menjabat sebagai Panitera Kepala.

Tanggal 14 April 1976 terjadi musibah kebakaran besar yang sempat memusnahkan beberapa kelurahan di kota Palembang. Kantor Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah Palembang termasuk lokasi yang menjadi korban. Tak ada yang bisa diselamatkan dari musibah ini, termasuk semua data dan dokumen-dokumen penting yang berguna sekali bagi penyusunan sejarah Pengadilan Agama itu sendiri.

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah Palembang kemudian sejak tanggal 21 April 1976 berkantor di Jalan Mayor Santoso KM.3 Palembang, lagi-lagi dengan status menumpang, yaitu pada gedung Dinas Pertanian Kotamadya Palembang. Baru pada tanggal 19 April 1977 menempati gedung “Milik Sendiri” yang juga terletak di Jalan Mayor Santoso KM.3 Palembang, berhadapan dengan Kantor Dinas Pertanian di atas.

Secara umum keadaan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah Palembang sesudah berlakunya Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan Relatif lebih baik dari sebelumnya. Memiliki gedung sendiri di tahun 1977 berarti tidak akan lagi mengulangi nasib “berkelana” dari suatu tempat ke lain tempat, apalagi dengan status menumpang pada kantor atau instansi lain.

Keadaan personil dan peralatan kantor juga dari tahun ke tahun sudah mulai diperhatikan, walaupun secara bertahap. Begitu juga volume perkara, meningkat dari rata-rata 40 perkara menjadi rata-rata 60 perkara dalam setiap bulan.

Mengenai wilayah hukum sampai saat ini Pengadilan Agama Palembang (sebutan Pengadilan Agama sebagai ganti dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah adalah penyeragaman sesuai dengan Keputusan Menteri Agama No.6 tahun 1980) masih membawahi Kabupaten Musi Banyuasin, karena daerah ini belum dibentuk Pengadilan Agama tersendiri. pada tahun 1982 Pengadilan Agama Palembang tidak mewilayahi lagi Kabupaten Musi Banyuasin karena di kabupaten tersebut telah berdiri Pengadilan Agama Sekayu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *